Tentang Kepedulian : Catatan Kecil dari RSJ Dr Soeroyo

ini nih, tulisan temen SMAq Umi Gita di ugeem.com

Ini kisah yang tak mudah kulupakan. Suatu kisah yang berisi pembelajaran. Kisah ini kualami ketika aku menginjak semester lima kuliah.

Sabtu, 18 November 2006 menjadi sebuah kenangan tersendiri bagiku. Suatu hal yang luar biasa untuk kuberi makna dan menjadi pijakan pemikiran akan masa depanku. Aku berkunjung ke RSJ Dr Soeroyo, sebuah rumah sakit jiwa terbesar di Indonesia ini. Awalnya aku tidak niat, biasa saja karena aku memang bukan mahasiswa psikologi yang berkonsentrasi pada bidang klinis. Mata kuliah Psikologi Abnormal yang membuatku berkunjung pun kuambil karena aku ingin “mendalami” alias mengulang karena sebelumnya aku mendapat nilai E.

Sesampai di RSJ tersebut, aku banyak mendapat paparan dari psikolog yang sudah bekerja disana. Ternyata psikolog di RSJ itu hanya berjumlah empat orang. Yang sudah diangkat menjadi pegawai tetap hanya dua. Dua orang lainnya merupakan pegawai honorer. Empat orang psikolog tersebut merasa kewalahan menghadapi 500 ribu pasien. Walaupun peran psikolog menjadi second handkarena yang utama disana adalah psikiater, aku tak menganggap itu masalah. Justru yang menjadi pertanyaanku adalah kemana para lulusan psikologi lainnya? Bukankah banyak Universitas yang membuka jurusan psikologi? Mengapa bisa di RSJ sebesar itu hanya ada 4 psikolog? Kemana para sarjana-sarjana psikologi? Mengapa ini kontradiksi sekali ketika aku melihat rentetan calon pelamar kerja Pertamina yang berasal dari jurusan psikologi? Ya, jumlahnya banyak sekali. Ratusan mungkin.

Rasa hati ini semakin tersentuh ketika melihat jejeran pasien yang tertidur karena efek dari obat-obatan yang harus mereka minum. Sudah diberi obat menenangkan, kaki dan tangan mereka masih harus diikat untuk yang dirawat di Unit Penanganan Intensif. Tak jarang juga, obat mereka harus disuntikkan, mungkin secara paksa karena pasien itu ngamuk, gundah dan gelisah.

Kemudian aku dan teman-teman ditinggal di bangsal pasien pria yang sudah mulai tenang untuk mencoba berpraktek ala psikolog yang sudah profesional. Aku banyak mengobrol dengan mereka. Ada yang bernama Sugeng, Mahrul, Ali dan banyak lainnya. Mereka menyapaku dan menggodaku. Mereka inginkan perhatianku dengan berbagai cara. Tetapi ada juga yang diam saja, tak ingin diperhatikan. Ya, mereka semua yang ada di RSJ itu sudah mengalami gangguan psikotikgangguan terparah dari penyakit jiwa. Mereka semua sudah pasti mengindap Schizophrenia, entah ringan atau berat.

Aku banyak mengobrol dengan Ali, karena sedari awal ia sudah menatapku dan mengajakku berkenalan. Ali terus menatapku dengan tatapan yang dalam dan anehsesekali ia mengusapkan tangannya pada kepalanya seperti orang yang memikirkan sesuatu? Aku terlepas dengan begitu saja tuk menanyakan “Lagi memikirkan apa?” dan dia menjawab sesuatu kata yang tidak jelas kudengar.

“Apa? Pasar? Oh pasar dimana?” aku bertanya padanya.

Diapun dengan sedikit marah mengulang “Bukan, pacar!”

Oooh..aku baru mengerti bila ia sedang memikirkan pacarnya. Aku tanya saja lebih lanjut, “Pacarmu ya? Cantik?”

Dan jawabannya cukup mengagetkan, “Iya cantik, mirip sama kamu.”

Ia pun kembali menatapku tajam dan dalam.

Ups, aku mungkin mengingatkan pada masa lalunya. Aku binggung sekali harus bagaimana. Ia pun kemudian beryanyi lagu Jamrud “Pelangi di Matamu”. Kami pun mengobrol banyak walaupun aku merasa sedikit risih dengan tatapannya yang sangat tajam. Jujur aku belum pernah ditatap tajam, dalam dan dengan jangka waktu yang lama oleh lawan jenisseperti yang sekarang kualami.

Kami pun mengobrol lebih lanjut, tangan Ali tetap saja tegang dan bergetar-getar semenjak kami mengobrol. Dia menulis tentang pelangi di blocknoteku.

Alangkah hancurnya hati ini bila tidak ada pelangi.

Itulah tulisannya. Hanya itu dan ia tak mau menulis lagi.

Aku berpikir, mungkin pelangi itu adalah simbol dari orang yang benar-benar ia cintai. Kemudian ia bernyanyi lagi, aku tak tahu lagu apa. Yang jelas, bila dilihat dari liriknyasangat menyedihkan. Sebuah lirik lagu yang mengisahkan sebuah kasih yang tak sampai, sebuah usaha untuk mencintai yang tak diterima oleh lingkungan sosialnya dan berujung pada suatu perpisahan. Sangat menyedihkanterpancar dari raut wajahnya. Entah mengapa aku merasakannya padahal mungkin ekspresi emosinya tiada.

Tibalah aku harus pulang, akupun berpamitan dengan semua pasien di bangsal itu dan juga perawatnya. Aku tak sadar, ternyata sampai aku berjalan keluar dari bangsal, Ali mengikutiku dengan tatapan tajam dan dalamnya. Aku hanya melambaikan tangan dan berkata “Kapan-kapan ketemu lagi.”

Ali. Sebuah contoh bahwa ia sebenarnya orang yang normal dan berhak mendapatkan hangatnya sebuah lingkungan sosial. Ali dan teman-temannya, sesungguhnya berhak untuk mendapatkan kebahagiaan yang mungkin saat ini masih terhalangi oleh gangguan kejiwaan. Mereka berhak untuk kembali hidup normalsetidaknya secara sosial. Inilah kepedulian. Kini aku bertanya pada diriku sendiri apakah aku mampu nantinya, peduli dan berkorban untuk mereka yang termarjinalkan? Apakah menjadi lulusan psikologi yang mampu peduli dan beraksi untuk mereka yang membutuhkan, menjadi pilihan masa depanku? Bertahankah aku tuk berkecimpung dengan mereka dengan mengandalkan rasa peduli dan empatimenghiraukan materi atau kebanggaan atas jabatan semata? Suatu jawaban yang sulit, pertentangan antara idealisme dan harapan dari realita.


#gara2 orang setrez lagi ngumpul jadi inget tulisan ini..huehehehe.. n_nv

GeJe : Limit Mendekati Nol

Ketika berada dalam wilayah “limit” menuju titik nadir kondisi hati dan jiwa, ingin sekali diri bangkit dan berontak dari ketidakberdayaan. Bukan, bukan ketidakberdayaan, tapi lebih ketidakmauan untuk tidak berada pada wilayah “terlarang” itu.

Bangkit itu, layaknya langit yang cerah setelah hujan deras. Awalnya mendung memang menutupi mentari yang akan bersinar membawa semangat, namun mendung juga membawa hujan, berkah dari Sang Maha Pemberi Rizqi. Ya, mendung memang kelam, sendu, tapi setelah nikmat hujan turun, bahkan kita pun bisa melihat pelangi yang luar biasa cantiknya.

Mendung juga mungkin membawa badai, tapi bukankah tidak pernah ada badai yang abadi, setelah badai reda, langit bisa sangat cerah, indah bercahaya.

Coba kita bayangkan jika kita tak bisa “menikmati” mendung dan hujan, mungkin pelangi dan kecerahan langit setelahnya hanya terkesan biasa-biasa saja. Subhanallaah, Maha Suci Engkau yang menciptakan keindahan luar biasa ini ya Rabb..

Bisa jadi suatu saat manusia berada pada kondisi mendung atau hujan badai pada jiwa dan hatinya, layaknya sebuah kapal yang mengarungi lautan. Tentunya nahkoda manapun tidak akan tetap diam berada dalam “lingkaran” badai itu, namun bersegera keluar dari sana atau jika tidak berakibat kapal hancur berkeping-keping.
#foto tetep jepretan adekq dunkz..hihi