[Xenophobia] Akan Kubenci Papua, Jika …

Dua P; Palestina dan Papua adalah tempat hatiku terpaut sejak lama. Rasa cinta kepada dua tempat ini merupakan cinta pada impian yang sulit diungkapkan. Memburu kesempatan menemui mereka adalah cita-cita. Berkarya di dua wilayah ini adalah harapan terbesar dalam kontribusi yang ingin kupersembahkan pada tanah air. Bahkan mati syahid di sana (Palestina) adalah cita-cita tertinggi.

Mengenai Palestina, tak perlu lagi kuutarakan mengapa saya begitu getol menyapanya sebagai tanah airku. Terlalu banyak alasan untuk mencintainya. Maka kali ini izinkanlah untuk menorehkan tentang Papua dalam tulisan yang merupakan tumpahan hati ini.

Papua -atau saya ingin menyebutnya Nuu War- seperti yang sering disebut ustadz Fadzlan (da’i ‘Sabun Mandi’ asli sana). Beliau lebih sreg menyebut nama Nuu Waar bagi tanah kelahirannya, bukan Papua atau Irian. “Itu nama Irian dulu, bahasa Irian. Nuu artinya cahaya, waar menyimpan rahasia,” jelasnya ketika menjawab pertanyaan mengapa lebih memilih istilah Nuu War daripada Papua.

Entah kapan tepatnya saya mulai menambatkan hati pada Nuu War ini. Namun memang tak pernah terpikirkan dalam lintasan pikiran sekalipun untuk hidup di kota besar apalagi metropolitan. Sejak di bangku sekolah pun saya termasuk orang yang sangat ingin berpetualang ke daerah pelosok. Jadi ketika mengenal sosok Nuu War beserta seluk beluknya tertanamlah cita-cita untuk mengabdikan diri di sana.

“Mengapa Papua?!” Pertanyaan ini cukup sering diajukan oleh mereka yang mengetahui cita-citaku. Beberapa orang menganggap itu hal ‘gila’. Banyak pula yang terkesan meragukan, tak sedikit yang mewanti-wanti. Melemahkan. Bahkan sampai pada tahap ‘jangan’. Ya, melarang. Tapi apa mau dikata, namanya juga cinta, semakin dilarang semakin menggilainya. *eeaaa

Setidaknya beberapa hal ini yang sering diutarakan agar saya ‘membenci’ Nuu War. Atau paling tidak mengurungkan niat dan menghapus cita-cita tinggal di sana:

1/ Tidak Aman

Berita tentang suasana tak aman di Nuu War tentu sudah bukan barang asing lagi bagi kita. Organisasi Papua Merdekalah yang menurut media merupakan pelaku teror. Korban jiwa tak sedikit. Belum lagi jika ada perang antar suku atau pilkada yang rusuh. Senjata-senjata tradisional jadi alat eksekusi mematikan atas rasa ketidakadilan yang mereka alami.

Sesuatu yang sering disebut ‘nyawa dibayar nyawa’ tentu bagi manusia normal itu menakutkan. Suasana tidak aman. Nyawa yang terancam, dan berbagai hal tidak nyaman lainnya tentang situasi di wilayah itu sering menjadi momok yang disematkan orang-orang untuk menghambat pemburuanku menuju Nuu War.

“Tuh, kamu mau mengabdi di tempat rusuh kayak gitu?”

“Ntar kena bidik panah ato tombaknya lho, serem”

“Tiba-tiba ketembak OPM, gimana?”

Saya bukan orang yang tak punya rasa takut mati sama sekali. Namun tentu, sebagai orang yang beriman saya mempercayai Allah sudah mengatur kapan kematian itu akan menemui saya. Jadi mengapa mengurungkan niat hanya karena takut mati. Dari ketidakamanan itu justru saya berpikir bahwa banyak yang tidak beres di sana. Daerah yang begitu kaya SDA namun pembangunan dan kualitas SDMnya sangat tertinggal.

Pernah saya dengar istilah ‘anak ayam yang mati di lumbung padi’. Ya, mereka berada di ‘lumbung padi’ yang begitu kaya. Namun dikeruk untuk kekayaan asing, untuk dikorupsi oknum pejabat nakal, untuk ‘menyubsidi’ pusat, lalu akhirnya justru kelaparan. Dari bukit emas kini tinggal lembah curam akibat ulah asing dengan bantuan pejabat negeri sendiri. Semua digadaikan karena uang. Termasuk harga diri sebuah daerah bernama Nuu War.

Ketidakadilan inilah pemacu dan pemicu kondisi tidak aman serta keinginan merdeka. Selain campur tangan asing tentunya. Konflik pilkada -karena ulah sang calon kandidat berasal dari partai tertentu lalu terjadi pertikaian- serta perang antar suku utamanya timbul karena tingkat pendidikan di sana sangat rendah. Fasilitas pendidikan sangat minim. Jelas saja jika banyak hal diselesaikan dengan ‘otot’. Bahkan ustadz Fadzlan menyatakan ada upaya untuk menjadikan pemuda Nuu War tetap bodoh dengan membuat mereka mabuk-mabukan. Ada yang menyuplai minuman beralkohol di wilayah itu hingga dengan mudah dijangkau anak mudanya. Mengerikan!

Lalu apakah saya harus diam saja jika mereka yang ingin ‘menghancurkan’ cintaku itu. O.. tentu tidak. Katakan TIDAK!

2/ Terbatasnya akses dan jauh dari fasilitas.

Sekitar satu tahun saya pernah membantu pekerjaan notaris dan oleh bu notaris saya satu waktu ditanya tentang cita-cita. Saya sampaikanlah tentang ‘kegilaan’ saya ingin ke Nuu War, dia kaget dan menyayangkan. “Apa ga sayang kemampuan dan kecerdasanmu jika hanya dibawa ke sana? Kayak dek Fajar bisa lah kerja di kota besar punya penghasilan besar” ucapnya berharap saya memikirkan lagi keinginan itu. Saya hanya tersenyum.

Saat ada tayangan di televisi tentang sulitnya anak-anak di daerah pelosok menjangkau sekolah, harus berjalan begitu jauh melalui tebing curam bahkan harus menyeberang sungai dengan berenang ada komentar dari ibu saya “Kamu mau kerja di daerah begitu? Belum nyampe tempat ngajar dah ambruk” . Ini bukan tanpa alasan, namun memang kondisi fisik saya akhir-akhir ini setelah merasakan banyak penyakit cukup lemah. Jadi tentu saja ada kekhawatiran orang-orang yang menyayangi saya jika saya harus berada di daerah yang akses jalannya sulit.

Belum lagi jika ada tampilan kehidupan suku-suku di Nuu War yang diliput. Rumah-rumah mereka yang ada di pohon tinggi menjulang. Jalan yang sangat sulit dilalui masih harus ‘babat alas’. Belum lagi tak ada listrik, masak juga tak ada kompor.

Namun entah mengapa justru rasa penasaran dan makin cinta yang tertanam. Bukan ketakutan akan kendala-kendala yang sangat mungkin akan dihadapi. Saya merasa makin tertantang. Akan selalu ada jalan, insya Allah. Akan ada kemudahan-kemudahan beserta kesulitan.

Saya pikir di daerah kota besar sudah terlalu banyak ‘lampu sokley‘ yang memberi terang. Padahal cahaya saya hanya 5 Watt, kadang kurang. Tentu tak bisa berbagi cahaya di daerah yang sudah begitu terang benderang. Saya memilih menyalakan 5 Watt milik saya di tempat yang saya pikir masih ‘gelap’.

Ada juga celetukan iseng “ga bisa online nanti loh, sinyal aja ga ada”. Ahaha. Iya sih, memang itu kadang menggalaukan, tapi itulah serunya. Akan terasa sangat indah kesempatan bertemu kota dan sinyal ataupun akses internet. Hahaha. Pasti seru. “Di kotanya ada sinyal juga kalee”, santai jawaban saya tentang itu.

3/ Islam minoritas

“Islam itu minoritas di sana dan kamu dengan jilbab lebarmu akan menjadi orang aneh di sana.” Kalimat ini kadang cukup mengganggu saat didengar. Bagi kebanyakan kita jika menyebut Papua maka yang terbayang adalah budaya paka
ian koteka, budaya adat yang di sekitarnya babi semua, makanannya serba babi dan juga adanya jumlah penderita HIV AIDS yang sangat tinggi karena **** bebas di sana parah. “Lalu kamu, orang Jawa Muslimah berjilbab mau ‘kluyuran’ di daerah seperti itu. Jangan gila deh.” Mungkin itu celetukan yang acap kali mampir.

Baiklah kita luruskan. Sejatinya, Islam telah menjadi bagian integral dari perkembangan masyarakat Papua. Seperti tertulis di buku Islam atau Kristen Agama Orang Irian karya Ali Athwa (wartawan Suara Hidayatullah), Islam justru datang lebih dulu dibanding Kristen.

“Islam adalah agama pertama yang masuk Papua. Orang Islamlah yang mengantar Pendeta Otto Gensller ke Irian tanggal 5 Februari tahun 1885. Saat itu, Syaikh Iskandar Syah dari Samudera Pasai sudah datang, pengaruh Raden Fattah dari Kesultanan Demak juga sudah ada, hubungan Muslim Irian dengan Kerajaan Ternate dan Tidore di Maluku pun erat.”

Menurut ustadz Fadzlan Garamatan, kerajaan-kerajaan Islam saat itu berdiri di berbagai wilayah. “Ada 12 kerajaan, di bagian selatan ada 9, ada pula di utara, termasuk di kawasan Wamena, namanya Kerajaan Abdussalam Nowak. Salah satu keturunan Nowak ini adalah Haji Aipon Asso, tokoh masyarakat Wamena,” urai Fadzlan yang kini tengah melakukan penelitian tentang sejarah Islam di Nuu Waar.*1

Dakwah beliau sungguh menginspirasi saya untuk ikut serta. Ratusan suku telah memeluk Islam melalui perantaraan beliau. Sembilan ratusan masjid telah tersebar di Nuu War, ribuan orang dimandikan secara massal, diajari cara berpakaian, dikhitan, kemudian dituntun mengucapkan kalimah syahadat. Sungguh indah. Dan muslimah asli Nuu War banyak yang sudah mengenakan jilbab. Cantik. Membuat iri wanita-wanita asli Nuu War yang belum berpakaian muslimah. Subhanallah.

Mau ngapain di sana?

“memang ngotot banget mau ke Papua, mau ngapain ke sana?”

Saya hanya menjawab 2 hal ketika ditanya itu.

1. Menegakkan kalimat Allah.

Saudara-saudara sesama Muslim di sana jumlahnya kini telah begitu banyak. Saya ingin berbagi akan ilmu mengenai Islam yang telah saya peroleh di wilayah ber‘lampu sokley’ kuat dan ingin ikut belajar (sejatinya saya pasti akan lebih banyak belajar tentang kehidupan). Tugas dakwah bagi setiap Muslim itu wajib, dan bumi Nuu War juga memiliki hak dakwah.
Sederhana saja.

Saya sangat terinspirasi melihat tayangan di Kick Andy mengenai Aiptu Ma’ruf Suroto yang bertugas di Polsek Sota Kabupaten Merauke sejak 1993. Dengan semangatnya mengabdi pada negeri ini dia setulus hati menjaga wilayah perbatasan dengan Papua Nugini itu dan mengubahnya dari tempat angker menjadi daerah asri tempat bermain dan rekreasi. Yang lebih mencengangkan ternyata dia lahir di Magelang. Kota tempat saya dilahirkan pula. Makin bersemangatlah saya untuk menegakkan kalimat Allah seperti dia menegakkan sumpah setia mengabdi pada negara.

2. Mengajar anak-anak.

Indonesia mengajar begitu menginspirasi saya untuk mengabdikan diri di dunia pendidikan. Terlebih lagi sistem pendidikan Indonesia masih begitu buruk.

Saya selalu menganggap anak-anak Nuu War itu cerdas. Anggapan saya itu terbukti dalam kisah empat anak Nuu War. Albertina Beanal, Demira Yikwa, Kohoin Marandey berhasil menciptakan dan memenangkan lomba sains dan matematika di Jakarta. Mereka menciptakan Robot Pendeteksi Tsunami. Sementara Christian Murid meraih medali emas pada lomba matematika dan sains tingkat SD se-Asia. Padahal keempat anak itu awalnya adalah anak yang tinggal di pedalaman Papua dan dipilih karena dianggap paling bodoh. Namun, setelah dilatih dan belajar tekun dibawah pengawasan Profesor Yohanes Surya mereka berhasil mengerti tentang fisika dan matematika. Padahal ketika datang ke Jakarta pertama kali mereka tidak bisa berhitung. *2

“Khoirukum man ta’alamal quran wa ‘allamahu“ (sebaik-baik kamu adalah yang belajar Qur’an mengajarkannya). Saya cukup terperanjat ketika mendengar bahwa Gubernur Jawa Barat pernah menyampaikan data di wilayahnya, 50% warganya belum bisa baca Qur’an. Ini di Jawa Barat, daerah dekat ibukota dan cukup terpelajar. Lalu bagaimana dengan Nuu War? Pastinya masih sangat banyak pekerjaan rumah di wilayah itu. Saya ingin ikut ‘belajar kelompok’ menyelesaikannya dengan 5 Watt yang saya punya.

Mengajar Qur’an dan mengajar ilmu apapun yang bermanfaat bagi anak-anak di sana. Saya sangat ingin melakukan itu. Sungguh.

Bagi orang lain mungkin kebahagiaan bisa dirasakan dari sisi materi dan memperoleh ‘benda’ yang mereka harapkan. Sesekali sayapun begitu, bahagia lantaran ‘materi’. Akan tetapi setelah banyak hal dalam hidup, lebih dari cukup untuk memberikan pelajaran bagi saya bahwa kebahagiaan sejati adalah ketika kita bisa berbagi ilmu dan bisa bermanfaat bagi orang lain. Ada rasa lapang di dada jika telah berbuat sesuatu bagi orang lain. Bukan melulu memikirkan diri sendiri.

Islam pun mengajarkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Dan saya percaya itu adalah jalan menuju kebahagiaan. Sesederhana itu.

Ketakutan-ketakutan akan kegagalan dalam mencapai impian pastilah ada dalam setiap diri manusia. Begitupun saya. Namun, ketakutan terbesar adalah jika saya kemudian letih memperjuangkan impian. Letih karena melemah semangatnya oleh kata-kata orang. Karena ketidakpercayaan mereka bahwa saya akan bahagia dalam menjalani impian itu. Dan lebih takut lagi jika suatu saat saya menyerah kalah terhadap omongan-omongan mereka yang menentang impian ‘gila’ itu.

Maka, akan kubenci Papua jika saya menyerah kalah pada impian. Saya tak berharap itu terjadi. Jadi, bantu saya dengan do’amu ya. Seperti yang dulu pernah saya pinta dalam puisi ini:

meski tak pernah kau temui rintik salju
namun hujan kapas itu menjumpaimu
di malam lengang penenang kalbu
kau berkata “Allah mengabulkan do’aku”

sujud panjangmu menebas rerimbun ragu
yang menggelayut di belenggu masa lalu
satu per satu gugur runtuh membeku
kau berkata “Allah mengabulkan do’aku”

ini tentang duel penjagal harap dan penabur pupuk asa
ini tentang menautkan rantai-rantai rindu pada yang dituju
ini tentang gigil di saat seruNya memanggil
ini tentang serpih yang gigih diuntai agar tetap persih

di tengah syak mereka yang mengepungku
izinkan kupinta do’a darimu

wahai engkau sosok yang berhati jernih

Mungkin banyak yang akan berpikir saya terlalu idealis atau bahkan menertawai jika ternyata saya tak bisa mencapai impian itu. Namun, saya menulis di sini bukan ingin sok bercita-cita ‘besar’. Hanya ingat nasihat seseorang tentang impian:

“Kubawa dalam mimpi, lalu aku terbangun dari tidur. Berharap mimpi itu nyata. Tapi mana ada mimpi dari tidur yang nyata? Kujadikan mimpi itu cita-cita. Kutulis kisahnya. Sehingga kalaupun aku tak sanggup mewujudkan mimpi itu, banyak orang yang tau kisahnya dan mereka beramai-ramai mewujudkan mimpi itu. Jika nanti aku tak bisa menikmati mimpi yang jadi nyata, tak apalah. “
[Ade Nugraha]

*1: http://dakwahafkn.wordpress.com/wawancara/budaya-koteka-adalah-pembodohan/
*2: http://kickandy.com/theshow/1/1/2220/read/BERPRESTASI-DI
-TENGAH-KETERBATASAN

#Tulisan ini diikutkan dalam lomba ini