BAB I
PENDAHULUAN
Pemahaman hadits memerlukan metode yang tepat melalui pendekatan yang komprehensif, baik tekstual maupun kontekstual dengan berbagai bentuk dan kaidah-kaidahnya. Jika ilmu hadits hanya diolah dengan pendekatan tekstualis, seperti filosofis, atau yuridis teologis saja, maka ilmu hadits tidak dapat berkembang. Salah satu model pengembangan masalah ini adalah menggunakan pendekatan interdisipliner, atau ilmu komunikasi dan ilmu sosial lainnya. Setidaknya ada dua sistem nilai yang diterapkan pada makna hadits yang berinteraksi, baik interaksi antara hadits dengan hadits, atau hadits dengan kasus yang melingkari. Dua sistem itu adalah sistem internal dan sistem eksternal
Sistem internal adalah semua sistem nilai yang dibawakan oleh sebuah hadits, ketika ia diterapkan pada satu makna, atau pada maksud hadits yang dituju. Nilai itu terlihat ketika hadits itu diberi interpretasi seperti nilai akidah, hukum fiqh, akhlak, nasihat, do’a dan sebagainya. Dalam istilah lain, sistem internal mencakup juga pola pikir, kerangka rujukan, struktur kognitif, atau juga sikap yang dikandung oleh matan hadits. Sedangkan sistem eksternal terdiri atas unsur-unsur yang ada dalam lingkungan di luar isi matan hadits. Lingkungan itu, termasuk struktur yang mendorong munculnya matan hadits, atau kejadian yang melatarbelakangi tampilnya sebuah hadits, atau jawaban Rasulullah yang muncul karena pertanyaan sahabat.
Sistem eksternal juga bisa disebut dengan sisi historisitas hadits dalam memahami konteks hadits. Dalam mengetahui historis hadits itulah ada dua disiplin ilmu paling tidak yang harus dipelajari yaitu Ilmu Asbabul Wurud dan Ilmu Tawarikhul Mutun. Pada makalah ini akan dipaparkan mengenai disiplin Ilmu yang kedua yaitu Ilmu Tawarikhul Mutun.
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian, Objek dan Urgensi Ilmu Tawarikhul Mutun
- Pengertian Ilmu Tawarikhul Mutun
Tawarikhul mutun merupakan bentuk idhofah dari dua kata yaitu tawarikh (تواريخ) dan mutun (متون). Tawarikh adalah bentuk jamak (plural) dari tarikh (تاريخ). Sementara mutun ialah salah satu dari bentuk jamak matn (متن)[1]. Dua kata tersebut memiliki dua aspek pengertian, baik dari segi bahasa (etimologis) maupun dari segi istilah (terminologis).
Istilah tarikh berasal dari Bahasa Arab yang artinya menurut lughat (bahasa) adalah ‘ketentuan masa’. Arti menurut istilah adalah ‘keterangan yang menerangkan hal-ihwal umat dan segala sesuatu yang telah terjadi di kalangannya pada masa yang telah lampau atau pada masa yang masih ada’. Selain itu juga dipakai dalam arti perhitungan tahun dan buku sejarah dengan tahunnya. Adapun Ilmu Tarikh itu sendiri adalah suatu pengetahuan yang bermanfaat untuk mengetahui keadaan-keadaan atau kejadian-kejadian yang telah lampau dalam kehidupan umat dan keadaan-keadaan atau kejadian-kejadian yang masih ada (sedang terjadi) di dalam kehidupannya. Tarikh diambil dari tiga peringatan, yaitu peringatan yang sungguh-sungguh tertulis, peringatan dari keturunan (silsilah), dan peringatan yang terdapat pada benda-benda pada masa purba.[2]
Pengertian al-matn atau matan sendiri dalam kerangka etimologi adalah punggung jalan atau tanah yang keras dan tinggi[3]. Matn kitab berarti yang tidak bersifat komentar dan bukan tambahan-tambahan penjelasan. Matn dalam ilmu hadits adalah: mā yantahiy ilayhi as-sanad min al-kalām, yakni: sabda Nabi yang disebut setelah sanad, atau penghubung sanad, atau materi hadits[4]. Dengan kata lain matn adalah redaksi hadits yang menjadi unsur pendukung pengertiannya.[5]
Tawarikhul mutun merupakan disiplin ilmu yang membahas tentang sejarah matan-matan hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ilmu ini seimbang dengan ilmu tawarikhun nuzul yang sering dipakai dalam istilah ilmu al-Qur’an, dalam definisinya menurut T.M. Hasbi ash-Shiddieqy dikatakan:
علم تاريخ المتون هو علم يعرف به تاريخ ورود الحديث الشريف
“Ilmu tawarikhul mutun adalah ilmu yang mana dengan dia bisa diketahui akan sejarah datangnya hadits Nabi yang mulia (Nabi menyabdakan haditsnya)”[6]
- Objek Ilmu Tawarikhul Mutun
Hal-hal yang menjadi objek dari kajian ilmu tawarikhul mutun ini dapat ditentukan dengan melihat dari definisi yang telah dipaparkan di atas. Pengertian tersebut menyuratkan bahwa objek sasaran ilmu ini berupa tarikh (sejarah) kapan suatu matan hadits disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Letak perbedaannya dengan asbabul wurud[7] adalah jika ilmu asbabi wurudi’l hadits itu titik beratnya membahas tentang latar belakang dan sebab-sebab lahirnya hadits (dengan kata lain mengapa Nabi bersabda atau berbuat demikian), sementara ilmu tawarikhul mutun menitikberatkan pembahasannya kepada kapan atau di waktu apa hadits itu diucapkan atau perbuatan itu dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Menurut Abdul Mustaqim, sebenarnya dalam konteks ilmu tawarikhul mutun perlu juga dikembangkan teori kategori hadits-hadits makkiyah dan madaniyah, sebagaimana kajian ulumul qur’an. Sebab boleh jadi masing-masing redaksional memiliki kekhususan redaksi maupun isi kandungan. Hal ini akan membantu mencari mana hadits yang nasikh dan mana hadits yang mansukh. Di samping itu, pengetahuan hadits makkiyah dan madaniyah juga akan memberikan informasi tentang bagaimana evolusi perkembangan syari’at Islam.[8]
- Urgensi Ilmu Tawarikhul Mutun
Penelitian terhadap hadits sangat diperlukan, karena hadits sampai kepada umat Islam melalui jalur dan jalan periwayatan yang panjang. Sehingga wajar apabila terdapat kesalahan-kesalahan terhadap pemahaman hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut. Hadits tidak bertambah jumlahnya setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sedangkan permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam terus berkembang sehubungan dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu di dalam memahami hadits diperlukan metode pemahaman yang tepat melalui pendekatan yang komprehensif, baik tekstual maupun kontekstual dengan berbagai bentuk dan kaidah-kaidahnya.[9]
Pemahaman hadits dengan pendekatan kontekstual inilah di antaranya dengan melalui ilmu asbabul wurud dan ilmu tawarikhul mutun. Hal tersebut terutama berkaitan erat dengan hadits-hadits hukum. Sebab adakalanya hadits hukum yang disampaikan atau dilakukan oleh Rasulullah bersifat kasuistik, kultural bahkan temporal. Maka dari itu, pemahaman sisi historis suatu matan hadits tidak bisa dilepaskan begitu saja agar terhindar dari kesalahpahaman memahami hadits dan ketidaktahuan bahwa hukum tersebut telah terhapuskan. Pemahaman hadits yang mengabaikan peranan tawarikhul mutun dan asbabul wurud akan cenderung bersifat kaku, literalis-skriptualis, bahkan terkadang kurang akomodatif terhadap perkembangan zaman.
Urgensi ilmu tawarikh al-mutun antara lain sebagai berikut:
- Peran yang paling utama adalah sebagai alat bantu mengetahui nasikh dan mansukh hadits[10] yang tentu akan sangat berpengaruh dalam pengambilan istinbat hukum dalam Islam. Nasakh merupakan salah satu cara menyelesaikan problem hadits maqbul yang saling berlawanan (mukhtalif).[11]
- Mengetahui secara detail kapan dan pada momentum apa sebuah matan hadits dikeluarkan oleh nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Jika dikembangkan teori kategori hadits-hadits makkiyah dan madaniyah seperti yang telah dibahas di atas maka bisa jadi ada ciri-ciri khusus pada masing-masing periode seperti halnya Al-Qur’an karena hadits pada hakikatnya juga merupakan wahyu.
- Sebagai sarana dalam memahami hadits agar terhindar dari kesalahpahaman (misunderstanding) dalam menangkap maksud suatu hadit Misalnya hadits
“إِنَّ اللهَ لَيُؤَيِّدُ هذا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفاجِرِ”
“Sungguh Allah akan menolong agama ini dengan seorang yang fajir”
Hadits ini terjadi dalam perang Khaibar ketika ada seorang laki-laki yang ikut berperang dengan gagah berani tetapi Rasulullah menyebutkan bahwa ia adalah ahli neraka. Ternyata orang tersebut akhirnya bunuh diri.[12]
- Alat bantu dalam melacak autentisitas hadits dengan melihat latar belakang sejarah kemunculan matan. Hal ini penting dalam kritik matan hadits. Seperti hadits di nomor 3, dalam redaksi di Shahih Muslim disebutkan bahwa peristiwa itu terjadi di Perang Hunain sementara dalam redaksi di Shahih Bukhari terjadi di Perang Khaibar. Dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim, Imam an-Nawawi mengutip perkataan al-Qadhi Iyadh bahwa yang benar adalah pada waktu Perang Khaibar.[13]
- Memperkaya khazanah keilmuan Islam, khususnya dalam kajian hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam serta kajian sejarah Islam pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seperti yang dilakukan oleh Imam al-Bulqini pada bab terakhir dari kitab Mahasinul Ishthilah (Bab Taariikh Mutta’alliq bil Mutuun), di dalamnya terdapat beberapa hal yang terjadi pada masa hijrah, tahun pertama Hijriah, berurutan hingga tahun ke sepuluh setelah hijrah (10 Hijriah).[14] Juga terdapat urutan istri yang dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.[15]
- Metode yang Digunakan dalam Ilmu Tawarikhul Mutun
Terdapat beberapa metode pada kajian tawarikhul mutun yang dapat digunakan untuk mengetahui kapan suatu hadits disabdakan atau dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Menurut Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Tadribur Rawi yang merangkum dari penjelasan Imam Al-Bulqini di kitab Mahasinul Ishthilah, jalan-jalan untuk mengenal tarikh ini ialah[16]:
- Dengan terdapat perkataan:
أَوَّلُ مَا كَانَ كَذَا
“Permulaan yang terjadi adalah begini”[17]
Seperti hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah yaitu:
أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنَ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ
“Peristiwa yang dialami oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam saat pertama kali menerima wahyu adalah mimpi yang baik” (HR. Bukhari-Muslim)
Dan seperti hadits:
أَوَّلُ مَا نَهَانِي عَنْهُ رَبِّي بَعْدَ عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ شُرْبُ الْخَمْرِ وَمُلَاحَاةُ الرِّجَالِ
“Pertama-tama sesuatu yang dilarang aku daripadanya oleh Tuhanku sesudah dilarang menyembah berhala, ialah: meminum khamr dan membenci orang”(HR. Ibnu Majah)
- Terdapat kata-kata الْقَبْلِيَّة qabliyah (sebelum) seperti hadis yang diriwayatkan oleh Jabir radhiallahu anhu yaitu:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نَهَانَا أَنْ نَسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةَ، أَوْ نَسْتَقْبِلَهَا بِفُرُوجِنَا إِذَا أَهْرَقْنَا الْمَاءَ، ثُمَّ رَأَيْتُهُ قَبْلَ مَوْتِهِ بِعَامٍّ يَسْتَقْبِلُهَا
“Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang kami untuk membelakangi kiblat atau menghadapnya dengan kemaluan-kemaluan kami saat buang air. Kemudian aku melihat nabi, setahun sebelum beliau wafat, beliau menghadap kiblat ketika buang air” (HR. Ahmad, Abu Daud dan selainnya)
- Terdapat kata-kata الْبَعْدِيَّة ba’diyah (sesudah) seperti hadis Jarir radhiallahu anhu:
أَنَّهُ «رَأَى النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَمْسَحُ عَلَى الْخُفِّ، فَقِيلَ لَهُ: أَقَبْلَ نُزُولِ سُورَةِ الْمَائِدَةِ أَمْ بَعْدَهَا؟ فَقَالَ: مَا أَسْلَمْتُ إِلَّا بَعْدَ نُزُولِ سُورَةِ الْمَائِدَةِ
“Sesungguhnya Jarir telah melihat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengusap atas Khuffnya. Maka seseorang bertanya: Apakah sebelum turun surat al Maidah ataukah sesudahnya? Maka Jarir menjawab: aku tiada memeluk agama Islam melainkan sesudah turun surah al Maidah” (HR. Bukhari)
- Dengan perkataan آخَرِ الْأَمْرَيْنِ “akhirul amraini” seperti dalam hadis Jabir bin Abdullah:
كَانَ آخِرُ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – تَرْكَ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ
“Sesungguhnya, keputusan terakhir dari dua perkara yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah tidak adanya wudhu terhadap segala sesuatu yang disentuh api (dimasak/dibakar).” (Diriwayatkan perawi yang empat dan Ibnu Hibban)
- Terdapat kata-kata yang menunjukkan waktu بِذِكْرِ السَّنَةِ وَالشَّهْرِ وَغَيْرِ ذَلِكَ. Misalnya “sebulan sesudah/sebelumnya”, “setahun sesudah/sebelumnya” dan lain sebagainya.
Seperti hadits Buraidah:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَتَوَضَّأُ لِكُلِّ صَلَاةٍ، فَلَمَّا كَانَ يَوْمَ الْفَتْحِ صَلَّى الصَّلَوَاتِ بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ
“Konon Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berwudhu untuk tiap-tiap shalat. Tatkala pada tahun kemenangan (yaumul fath), beliau menjalankan beberapa shalat dengan satu kali wudhu” (HR. At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Juga seperti hadis Abdullah bin Ukaeini:
أَتَانَا كِتَابُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَبْلَ مَوْتِهِ بِشَهْرٍ: أَنْ لَا تَنْتَفِعُوا مِنَ الْمِيتَةِ بِإِهَابٍ وَلَا عَصَبٍ
“Sebulan sebelum Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat, beliau mengirim surat kepada kami supaya jangan mengambil faidah dari bangkai, baik kulitnya maupun urat besarnya” (HR. Al-Khomsah/Ahmad dan Ashabus sunan).[18]
- Tokoh-tokoh dan Kitab yang terkait dengan Ilmu Tawarikhul Mutun
Ulama yang dianggap promotor dalam ilmu Tawarikhul Mutun ialah Imam Sirajuddin Abu Hafsh ‘Amar bin Salar Al-Bulqiny[19]. Beliau memiliki kitab yang bernama ”محاسن الاصطلاح في تضمين كتاب ابن الصلاح” Mahasinul Ishthilah fii Tadhmin Kitab Ibnu Shalah yang merupakan kitab dalam bentuk ringkasan (ikhtisar) Muqaddimah Ibnu Shalah. Kitab ini meski berupa ringkasan, namun banyak memberikan ulasan penting, catatan, dan beberapa penjelasan tambahan. Pada bagian terakhir kitab tersebut ada bab “التاريخ المتعلِّق بالمتون”. Yang kemudian dirangkum oleh Imam As-Suyuthi dalam Tadribur Rawi pada bab “معرفة تواريخ المتون” yang merupakan bagian ke-sembilan puluh dari kitab tersebut. Uniknya, Tadribur Rawi ini merupakan kitab syarah (penjelasan) dari kitab Imam an-Nawawi yaitu Al-Taqrib wa al-Taisir li Ma’rifat Sunan al-Basyir wa al-Nadzir, dan kitab tersebut adalah ringkasan dari kitab Imam an-Nawawi sendiri yang berjudul Al-Irsyad. Sementara Al-Irsyad ini ialah kitab ikhtishar juga dari Muqaddimah Ibnu Shalah.
- Contoh-contoh Tawarikhul Mutun
Tarikh dari suatu matan bisa diketahui dari dalam matan sebuah hadits itu sendiri. Seperti hadits dari Abu Umamah Al-Bahili;
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي خُطْبَتِهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ يَقُولُ ” لاَ تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا ” . قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الطَّعَامُ؟ قَالَ ” ذَاكَ أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا ”
“Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda ketika khutbahnya pada tahun haji wada’: Wanita dilarang menginfakkan sesuatu apa pun dari harta suaminya melainkan dengan seizinnya. Dikatakan: Tidak pula makanan wahi Rasulullah? Beliau bersabda: itu adalah harta kami yang paling utama” (HR. Turmudzi dan Ibnu Majah)[20]
Hadits ini dengan jelas dan tegas menerangkan sejarah akan adanya hadits yaitu pada saat nabi menyabdakan haditsnya ketika beliau sedang khutbah Haji Wada’ yang dilakukan pada tahun 10 Hijriah.
Contoh lain adalah hadits yang telah disinggung pada pembahasan urgensi ilmu tawarikh al-mutun. Teks lengkap hadits adalah sebagai berikut:
حديث أَبي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: شَهِدْنا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم خَيْبَرَ، فَقالَ لِرَجُلٍ مِمَّنْ يَدَّعِي الإِسْلامَ: هذا مِنْ أَهْلِ النَّارِ، فَلَمّا حَضَرَ الْقِتالُ قاتَلَ الرَّجُلُ قِتالاً شَديدًا فَأَصابَتْهُ جِراحَةٌ، فَقِيلَ يا رَسُولَ اللهِ الَّذِي قُلْتَ إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَإِنَّه قَدْ قاتَلَ الْيَوْمَ قِتالاً شَدِيدًا، وَقَدْ مَاتَ، فَقالَ صلى الله عليه وسلم: إِلى النَّارِ قَالَ فَكادَ بَعْضُ النَّاسِ أَنْ يَرْتابَ؛ فَبَيْنَما هُمْ عَلى ذلِكَ إِذْ قِيلَ إِنَّهُ لَمْ يَمُتْ وَلكِنَّ بِهِ جِراحًا شَدِيدًا، فَلَمّا كانَ مِنَ اللَّيْلِ لَمْ يَصْبِرْ عَلى الْجِراحِ فَقَتَلَ نَفْسَهُ: فَأُخْبِرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِذلِكَ، فَقالَ: اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنّي عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، ثُمَّ أَمَرَ بِلالاً فَنادى في النَّاسِ: إِنَّه لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلاّ نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ، وَإِنَّ اللهَ لَيُؤَيِّدُ هذا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفاجِرِ
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata; “Ketika kami sedang ikut dalam perang Khaibar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Beliau berkata kepada seseorang yang mengaku dirinya telah masuk Islam; “Orang ini termasuk penduduk neraka”. Ketika terjadi peperangan orang tadi berperang dengan sangat berani lalu dia terluka kemudian dikatakan (kepada Beliau); “Wahai Rasulullah, orang yang Baginda maksudkan tadi sebagai penduduk neraka, dia telah berperang hari ini dengan sangat berani dan dia telah gugur”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Dia akan masuk neraka”. (Abu Hurairah) berkata; “Orang-orang semuanya menjadi ragu. Ketika dalam keraguan seperti itu, ada orang yang mengabarkan bahwa orang yang berperang tadi tidaklah mati melainkan setelah mendapatkan luka yang sangat parah namun ketika pada malam harinya dia tidak sabar atas luka yang dideritanya hingga akhirnya dia bunuh diri. Kejadian ini kemudian dikabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allahu Akbar, aku bersaksi bahwa aku ini hamba Allah dan Rasul-Nya”. Kemudian Beliau memerintahkan Bilal agar menyerukan manusia bahwa tidak akan masuk surga melainkan jiwa yang benar-benar patuh Islam dan sungguh Allah akan menolong agama ini dengan seorang yang fajir (yang tidak jujur imannya)” [21]
Hadits tersebut muttafaq ‘alaih namun merupakan lafadz dari Imam Bukhari dalam kitab shahihnya pada bagian Kitab Jihad (56) yaitu pada Bab “Allah Akan Menolong Agama Ini dengan Seorang yang Fajir” (182), nomor hadits 3062.[22] Sementara dalam Shahih Muslim yang penomorannya oleh Imam Nawawi terdapat pada Kitab Iman bab yang sudah disebutkan di atas nomor hadits 178 -dengan lafadz yang sedikit berbeda dari yang dikeluarkan Imam Bukhari-. Hadits di atas secara jelas menyebutkan sababul wurud hadits yang sekaligus juga terdapat tarikh matan di dalamnya.
Contoh terakhir adalah sepasang hadits yang merupakan nasikh dan mansukh, yakni diriwayatkan bahwa Syidad bin Aus pada masa-masa penaklukan kota Makkah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika Rasul melihat seseorang berbekam pada siang hari bulan Ramadhan maka beliau berkata:
“ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ ”
“Orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam batal puasanya”
Dan hadits dari Ibnu Abbas:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ احْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ مُحْرِمٌ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbekam, padahal beliau sedang berpuasa dan berihram”
Hadits yang pertama (Hadits Syidad) itu terjadi pada masa-masa penaklukan kota Makkah yaitu pada tahun 8 Hijriah, dan hadits kedua (hadits Ibnu Abbas) terjadi pada waktu Haji Wada’ yaitu pada tahun 10 Hijriah. Jadi, hadits kedua merupakan nasikh bagi hadits yang pertama.[23]
BAB III
KESIMPULAN
Ilmu tawarikhul mutun adalah ilmu yang mana dengan dia bisa diketahui akan sejarah datangnya hadits Nabi yang mulia. Objek sasaran ilmu ini berupa tarikh (sejarah) kapan suatu matan hadits disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Letak perbedaannya dengan asbabul wurud adalah jika ilmu asbabi wurudi’l hadits itu titik beratnya membahas tentang latar belakang dan sebab-sebab lahirnya hadits, sementara ilmu tawarikhul mutun menitikberatkan pembahasannya kepada kapan atau di waktu apa hadits itu diucapkan atau perbuatan itu dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Urgensi ilmu tawarikh al-mutun antara lain:
- Sebagai alat bantu mengetahui nasikh dan mansukh hadits
- Mengetahui secara detail kapan dan pada momentum apa sebuah matan hadits dikeluarkan.
- Sebagai sarana dalam memahami hadits agar terhindar dari kesalahpahaman dalam menangkap maksud suatu hadits.
- Alat bantu dalam melacak autentisitas hadits .
- Memperkaya khazanah keilmuan Islam.
Jalan-jalan untuk mengenal tarikh ini ialah dengan terdapat perkataan “awwala maa kaana kadza”, terdapat kata-kata qabliyah (sebelum), terdapat kata-kata ba’diyah (sesudah), dengan perkataan “akhirul amraini”, terdapat kata-kata yang menunjukkan waktu. Ulama yang dianggap promotor dalam ilmu Tawarikhul Mutun ialah Imam Sirajuddin Abu Hafsh ‘Amar bin Salar Al-Bulqiny dengan kitabnya Mahasinul Ishthilah fii Tadhmin Kitab Ibnu Shalah.
[1] Ada bentuk jamak yang lain yaitu mitan (متان). (Lihat: Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits, terj. H.M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushul Al-Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), hlm. 12).
[2] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw. Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 1.
[3]Kata dasar matn dalam Bahasa Arab berarti “punggung jalan” atau “bagian tanah yang keras dan menonjol ke atas”. Apabila dirangkai menjadi matn al-hadits, menurut al-Thiby seperti yang dinukil oleh Musfir al-Damini, adalah :
الفاظ الحديث التي تتقوم بها المعانى
“Kata-kata hadis yang dengannya terbentuk akan makna-makna”
Definsi ini sejalan dengan Ibnu al-Atsir al-Jazari (w.606H) bahwa setiap matan hadis tersusun atas elemen lafal (teks) dan elemen makna (konsep). Dengan demikian, komposisi ungkapan matan hadis pada hakikatnya adalah pencerminan konsep idea yang intinya dirumuskan berbentuk teks. Teksmatan juga disebut dengan nash al-hadits atau nash al-riwayah. (Lihat: Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2004), hlm. 13).
[4] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2010) hlm. 36.
[5] Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits, … (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), hlm. 12.
[6]T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm 302.
[7]Lihat: Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), hlm. 330.
[8] Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani al-Hadis, (Yogyakarta : Idea Press, 2008), hlm. 16.
[9]Yunahar Ilyas dan M. Mas’udi, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis. Cet. I, (Yogyakarta: LPPI, 1996) hlm. 174.
[10] Al-Bulqini menyampaikan bahwa:
فَوَائِدُهُ كَثِيرَةٌ، وَلَهُ نَفْعٌ فِي مَعْرِفَةِ النَّاسِخِ وَالْمَنْسُوخِ
“Faidahnya banyak serta bermanfaat besar dalam mengetahui nasikh dan mansukh.” (Lihat: Sirajuddin Al-Bulqini, Muqaddimah Ibnu Shalah wa Mahasinul Ishthilah, pentahqiq Aisyah Abdurrahman, (Fes: Darul Ma’arif, 1990) hlm. 714). Kalimat al-Bulqini tersebut juga dikutip oleh Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Tadribur Rawi pada bagian ke-sembilan puluh “Mengenal Tawarikul Mutun”(Lihat: Jalaluddin As-Suyuthi, Tadribur Rawi fi Syarah Taqribun Nawawi, (Riyadh: Maktabah Al-Kautsar, 1415H) hal. 930).
[11]Lihat: Fatchur Rahman, Ikhtishar …, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), hlm. 151.
[12]Lihat: Ibnu Hamzah Al-Husaini Al-Hanafi Ad-Dimasyqi, Asbabul Wurud Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-Hadits Rasul jilid I, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), hlm. 419-420.
[13]Lihat: Imam An-Nawawi, Shahiih Muslim Bi Syarhin-Nawawi, terj. Wawan Djunaedi Soffandi, Terjemah Syarah Shahiih Muslim, (Jakarta Selatan: Mustaqiim, 2004), hlm. 723
[14]Lihat: Sirajuddin Al-Bulqini, Muqaddimah …, pentahqiq Aisyah Abdurrahman, (Fes: Darul Ma’arif, 1990) hlm. 719-722.
[15] Ibid, hlm 723.
[16]Lihat: Jalaluddin As-Suyuthi, Tadribur Rawi …, (Riyadh: Maktabah Al-Kautsar, 1415H) hal. 930-932.
[17]Di antara ulama yang menyusun “hadits-hadits awwaliyah” dalam satu bab tersendiri ialah Imam Ibnu Abi Syaibah
[18]Menurut ulama madzhab Maliki dan ulama Madzhab Hambali hadits ini me-nasakh hadits-hadits lain yang muncul sebelumnya. Karena, hadits ini muncul di akhir umur Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Hadits ini menunjukkan bahwa penggunaan kulit bangkai sebelum itu hanyalah suatu rukhshah. Namun menurut pendapat Prof. Wahbah Zuhaili, pendapat yang rajih ialah pendapat ulama Hanafi dan Syafi’I, bahwa samak adalah salah satu cara penyucian. Sebab hadits Ibnu Ukaim dipertikaikan. Al-Hazimi dalam kitabnya, an-Nasikh wal Mansukh wa Tariq al-Inshaf fihi mengatakan bahwa hadits Ibnu Ukaim merupakan dalil yang menunjukkan terjadinya nasakh, jika memang hadits itu benar. Tetapi hadits itu riwayatnya dipertikaikan dan ia tidak dapat menandingi keshahihan hadits Maimunah. (Lihat: Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk., Fiqih Islam Wa Adillatuhu 1, (Jakarta: Gema Insani, 2010) hlm. 213-215.
[19]Fatchur Rahman, Ikhtishar …, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), hlm. 330.
[20] Manshur bin Hasan al-Abdullah, Syarhul al-Arba’un al-Uswah min al-Hadits al-Waridah fi an-Niswah, terj. Abu Muhammad Suparta, 40 Hadits Pilihan Pembentuk Karakter Muslimah, cet. V (Jakarta: Darul Haq, 2014), hlm. 9.
[21]Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, Al-Lu’Lu’ Wal Marjan, terj. H. Salim Bahreisy, Al-Lu’Lu’ Wal Marjan Himpunan Hadits Shahih Disepakati Oleh Bukhari dan Muslim, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1982), hlm. 35-36.
[22]Lihat: Imam Al-Bukhari, Al-Jaami’ Ash-Shahiih Mukhtashar Al-Musnad min Hadiitsi Rasuulillaah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallaam wa Sunanihi wa Ayyaamihi; Al-Juz Ats-Tsaanii, (Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyah wa Maktabatuha, 1403 H/1983 M), hlm. 376-377.
[23] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd Fii ‘Uluum al-Hadits, terj. Mujiyo, ‘Ulumul Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 349.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Hasjim. 2004. Kritik Matan Hadis. Yogyakarta: Penerbit Teras.
‘Abdul Baqi, Muhammad Fuad. 1982. Al-Lu’Lu’ Wal Marjan, terj. H. Salim Bahreisy, Al-Lu’Lu’ Wal Marjan Himpunan Hadits Shahih Disepakati Oleh Bukhari dan Muslim. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Al-Abdullah, Manshur bin Hasan. 2014. Syarhul al-Arba’un al-Uswah min al-Hadits al-Waridah fi an-Niswah, terj. Abu Muhammad Suparta, 40 Hadits Pilihan Pembentuk Karakter Muslimah, cet. V. Jakarta: Darul Haq.
Al-Bukhari, Imam. 1403 H/1983 M. Al-Jaami’ Ash-Shahiih Mukhtashar Al-Musnad min Hadiitsi Rasuulillaah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallaam wa Sunanihi wa Ayyaamihi; Al-Juz Ats-Tsaanii. Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyah wa Maktabatuha.
Al-Bulqini, Sirajuddin. 1990. Muqaddimah Ibnu Shalah wa Mahasinul Ishthilah, pentahqiq Aisyah Abdurrahman. Fes: Darul Ma’arif.
Chalil, Moenawar. 2001 Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw. Jilid 1. Jakarta: Gema Insani Press.
Ad-Dimasyqi, Ibnu Hamzah Al-Husaini Al-Hanafi. 2003. Asbabul Wurud Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-Hadits Rasul. Jilid I. Jakarta: Kalam Mulia.
Ilyas, Yunahar dan M. Mas’udi. 1996. Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis. Cet. I. Yogyakarta: LPPI.
‘Itr, Nuruddin. 2012. ‘Manhaj an-Naqd Fii ‘Uluum al-Hadits, terj. Mujiyo, ‘Ulumul Hadis, Cet.II. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj. 2013. Ushul Al-Hadits, terj. H.M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushul Al-Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits, Cet. V. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Mustaqim, Abdul. 2008. Ilmu Ma’ani al-Hadis. Yogyakarta : Idea Press.
An-Nawawi, Imam. 2004. Shahiih Muslim Bi Syarhin-Nawawi, terj. Wawan Djunaedi Soffandi, Terjemah Syarah Shahiih Muslim. Jakarta Selatan: Mustaqiim.
Rahman,Fatchur.1974. Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits. Bandung: PT Al-Ma’arif.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1981. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jilid II Jakarta: Bulan Bintang .
Suryadilaga, M. Alfatih dkk. 2010. Ulumul Hadis. Yogyakarta: Penerbit Teras.
As-Suyuthi, Jalaluddin. 1415H. Tadribur Rawi fi Syarah Taqribun Nawawi. Riyadh: Maktabah Al-Kautsar.
Az-Zuhaili, Wahbah. 2010. Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk., Fiqih Islam Wa Adillatuhu 1. Jakarta: Gema Insani.
_________________________________________
ini fajar lagi iseng pol-polan posting makalah sendiri.. =))))
gegara galau mau ujian susulan… ehehe..
ternyata begini kalo makalah diposting plus footnote…
yang geje di urutan angkanya.. kenapa jadi 1 semua…. ohoho… susah diedit pula
ya.. ya.. jadi nanti bisa ngoprekin blog lsiqh deh #okesip
Kalau ada yang salah, mohon dikoreksi.. ;)
oya gambarnya itu manuskrip salah satu lembar mahasin al-isthilahnya al-bulqini
*saya lupa donlot dimana*